Hujan adalah berkah untuk Schumi. Kemampuan untuk merasakan setiap jengkal mobilnya sulit dikalahkan.
Tak ada yang berubah. Ia tetap merentangkan tangan di belakang punggung, lengan menjulur lurus, lantas membungkuk beberapa
kali, nyaris menyentuh tanah, untuk meregangkan bahunya. Lalu, kakinya digesek-gesekan supaya kaos kakinya ngepas di boot
Nike-nya. Iapun mengenakan 'balaclava' longgar plus helm Bell baru yang dilengkapi modul radio digital di bagian kanan depan.
Setelah itu perlahan ia pasang 'glove'-nya di antara jemari, sebelum, akhirnya, kakinya serentak masuk ke dalam mobil Ferrari.
Setelah itu, 'feeling' yang biasa diakrabinya mulai melingkupi diri Michael Schumacher. Kedua kaki, lengan, punggung
semua merasakannya. Itulah yang ia butuhkan untuk merasakan setiap inci miobil yang sebentar lagi akan dia bawa itu. Perasaan
tersebut terus saja berulang, sepanjang ingatannya bahkan ketika ia masih ber-gokart-ria. Juga ketika ia masih bocah, saat
memikirkan cara kerja bensin dan daya tahan ban, ia selalu mampu menghirup setiap jengkal mobilnya. So, yes, ia sabet
gelar juara dunia ketiganya tahun ini dan banyak orang luar menilai inilah 'the new' Michael Schumacher, pembalap yang akhirnya
belajar bagaimana menang di luar Benetton. 'This is a new', Schumi begitu matang, demikian kata orang, yang berarti Schumi
bisa jadi masih sama seperti dulu atau is sudah berubah tahun ini. Tapi, rasanya, sih, tidak begitu. Ada perubahan
penting di musim 2000 itulah buah dari hasil menempuh ribuan mil dan sekian lama berkutat di mobil balap, serta membawanya
mencapai limit. Tapi Schumi yang sekarang ini bila didefinisikan- adalah pembalap yang juara pada 1994 dan 1995, dan nyaris
jadi juara dunia empat tahun setelah saat itu. Jika kita tengok lagi musim balap sebelum ini, sungguh aneh Schumi
tidak menyabet juara dunia pada rentang empat tahun itu. Pada 1996 dan 1997, Ferrari lebih inferior dari William-Renault.
Pada 1998, mobil Ferrari jauh lebih baik tapi Ron Dennis memutuskan McLaren memakai Bridgestone dan 'championship' sebetulnya
sudah usai sebelum dimulai. Lantas pada tahun 1999, 'of course', dengan kemenangan sudah di depan mata, eh, kakinya malah
patah menyusul kerusakan rem. Berikan waktu setahun pada Schumi dengan ban sebanding, mesin yang sama andalnya, serta
tanpa 'force majeure' berupa patah kaki, siapa, sih, yang bisa menghentikannya? Kalau ia balapan untuk McLaren-Mercedes, bisa
jadi ia sudah merenggut juara dunia sebelum Suzuka. Orang menilai temperamen Schumi sudah berubah, mungkin karena
dua kali ia "membiarkan" dirinya di salip Mika Hakkinen di musim 2000 sekali menjelang masuk Turn 1 di Hungaria,
kemudian di puncak bukit Spa. Tapi, sebetulnya, ia tak kehilangan agresivitas di lintasan, sering melakukan start lelet dengan
mengambil jalur yang bagi pembalap lain (terutama JV) dianggap melanggar perjanjian tak tertulis alias tak sopan. Dan, Schumi
menjawab tanpa malu dengan menuding Senna dan Mansell serta Prost sama "keras"-nya beberapa tahun silam, jika bukan
"lebih keras". Dan, ia belum mau mengubahnya karena beberapa kalangan kini menilai balapan cuma bagian dari 'tea
party', bagian dari Grand Prix saja. Lantas, untuk membantahnya, kita akan bilang Schumi tak kehilangan agresifitasnya
sedikit pun di musim 2000 ini. Ia membuat hidup Mika amat sengsara di Spa, meski Ferrari-nya saat itu jauh lebih lambat di
trek lurus, dan ia memang sedang tak bisa menyalip lawan, tak seperti saat bersama David Coultharf di Magny-Cours. Dan, di
Austria serta Hockenheim, di mana dia tersingkir sebelum tikungan pertama, ia tengah memimpin, melenggang di depan di trek
menanjak itu, tapi ketika itu ia juga terlalu berharap pada pembalap seperti Ricardo Zonta dan Giancarlo Fisichella. Jadi,
Schumi yang baru, yang kurang agresif itu, pastilah akan balapan seperti Niki Lauda dan Alain Prost di masa keemasannya. Itu
artinya, memakai mobil yang dibalut 'cotton wool'. Hanya ada segelintir pembalap dalam sejarah olahraga ini yang
lebih baik dibanding Schumi dalam soal agresifitas balapan. Jadi, konsep ia "lebih lembut", seperti "tuduhan"
padanya di musim 2000 ini, membuat sia sperti Mika, yang tiba-tiba ada di belakang Minardi. Tapi, konsentrasi Schumi
tetap terbilang sempurna di musim 2000. Ia nyaris tersingkir di GP USA menjelang usai, saat ia unggul beberapa kilometer -ia
juga melakukannya di GP Belgia 1994. Jadi, Anda mungkin menuduhnya kadang kala terlalu pede. Kita, sih, mungkin lebih suka
bilang bahwa dia lengah di Indy, cuma itu dan sesederhana itu. Jackie Stewart, Jim Clark, Ayrton Senna dan Stirling Moss sangat
paham soal itu. Itulah bagian dari pekerjaan karena tak ada yang selalu sempurna. Dalam soal teknik pun Schumi tak
berubah. (Jangan baca bagian ini jika Anda percaya semua pembalap pada dasarnya melakukan hal yang sama di dalam kokpitnya:
mengerem, belok, menyeimbangkan mobil, menyentuh apex dan tancap gas sekeluar dari apex). Menurut saya, seperti saya bilang
sebelumnya, ada dua kategori yaitu pembalap yang mengerem di trek lurus lalu secara alamiah menemukan titik apex, dan pembalap
yang mengerem menjelang titik apex. Tipe pertama memaksimalkan parameter sirkuit; sedangkan yang kedua, lewat pembuktian memakai
sesuatu yang disebut "traction ellipse" atau "friction cricle", memaksimalkan parameter ban. Tapi,
tentu saja, tak segampang itu. Sebab, variablenya banyak dan sedikit saja pembalap yang sadar bagaimana mesti mengerem di
depan lawan, belum lagi memikirkan sesuatu yang hanya diketahui oleh mereka, seperti memaksimalkan penampilan ban dalam dua
demensi (ke samping dan ke depan). Di atas itu semua, telemetri modern dan pengumpulan data tidaklah membimbing posisi
mobil di sirkuit. Itu hanya mengabarkan kapan pembalap mesti mengerem, untuk beberapa lama, dan keduanya akan memberitahu
berapa banyak pembalap sudah menginjak pedal. Apa yang tak bisa Anda ketahui adalah dimana pembalap mesti mengerem menjelang
tikungan, bagaimana meng-handle mobil, pemakaian pedal gas selepas tikungan, dan tentu saja, di titik apex. Jadi,
apa yang Anda saksikan di lintasan adalah Schumi "mengayunkan" Ferrarinya dengan mengerem, menikung lebih cepat
dibanding JV tau Mika. DC dan Ralf Schumacher melakukan hal serupa, seperti juga Eddie Irvine saat ia punya mobil andal. Tapi,
Schumi tetap lebih konsisten karena ia lebih mampu mengimbangi (lewat 'feeling' alami dan kontrol mobil) ketika tiba-tiba
mobil kehilangan grip depan atau pun belakang. Sementara Jean Alesi itu contoh ekstrim yang berbeda soal pembalap di tikungan.
Feeling-nya untuk ban depan mungkin setara dengan Schumi, tapi ia keder dan pusing begitu didera understeer parah. Itulah
sebabnya, Alesi bilang ia suka oversteer: oversteer meminimalkan kemungkinan 'front end' membuang lebar ke samping. Sedangkan
keahlian lain, sementara ini dikuasai Mika dan JV. Hal itu tidaklah membuat Schumi inferior. Di sisi lain, kadang kala pembalap
seperti mereka (dan sebelumnya Senna) sudah tak bisa dan tak mungkin dikalahkan. Mereka bisa melihat tikungan lebih baik,
lebih leluasa menghadapi mobil melintir dan juga jauh lebih mampu bereaksi pada perubahan. Situasi yang mendadak. Lebih dari
itu (di luar Schumi), mereka secara umum lebih mampu meladeni perubahan keseimbangan mobil karena mereka tak terlalu tergantung
pada 'feeling' tertentu atau kondisi trek. Tapi, tak diragukan lagi, pembalap yang menikung lebih dini biasa memakai trek
lebih sedikit, dan leluasa mengeset kecepatan di mulut tikungan. Mereka tak henti menyeimbangkan pengereman dengan tingkat
kesulitan tikungan. Sebaliknya, para pembalap klasik berusaha mengerem setelat mungkin, lalu secepatnya menggeber 'power'.
Dengan kata lain, pilihan mereka lebih terbatas. (Hal ini juga menjelaskan kenapa JV cenderung mengerem di trek lurus, sementara
DC, ketika melakukan kesalahan, terlalu melebar di pertengahan tikungan). Tapi, yang menarik adalah bagaimana pembalap
jago tikungan itu cenderung blingsatan ketika beberapa faktor tadi mendadak sirna. Karena Schumi amat sensitif pada bagian
depan mobilnya, jadilah ia dan Alesi, juga Button serta Ralf, makin menggila saat gerimis turun dan mereka semua bertahan
di lintasan dengan ban kering. Sedangkan Mika, yang perlu mobil prima untuk tampil bagus, langsung keok ketika tak lagi punya
grip depan atau belakang. Jika begitu, aksi menyalip Mika di Spa mungkin jadi tayangan TV 'of the year', tapi bagi
saya, justru aksi Schumi, menyalip Mika di Nurburgring. Sebab di sana ada Mika sang juara dunia dua kali yang punya mobil
kelas wahid jadi begitu ia disalip rasanya ia mengalami kemunduran. Dan bukan karena mobil McLaren tampil jelek di cuaca basah
hari itu: Mika justru sangat kencang di Nurburgring setelah mengganti ban basah Bridgestones. Tapi, begitu hujan turun, ketika
penentunya Cuma jemari dan kaki saja, hanya Schumi seorang yang bisa menunjukkan caranya pada mereka.
Bahkan jagoan paling hebat pun perlu dukungan. Tanpa kerja kru pit yang andal dan taktik hebat, gelar juara dunia akan
lepas lagi di musim 2000.
|