Baca ulasannya lebih lanjut di bawah: (Penulis/teks: Tom Clarkson/F1 Racing Magazine)
AWAL PERJALANAN
Kita percaya Michael Schumacher terlahir dengan bakat alami. Namun, untuk posisi seperti saat ini, ia harus bekerja ekstrakeras.
Darimana omongan seperti itu muncul? Michael Schumacher memang pembalap terkaya dan terkenal sepanjang sejarah olah
raga. Okelah, tak ada pembalap yang langsung melejit di lomba karting pertamanya; semua orang harus berusaha untuk jadi
juara. Tapi tampaknya Schumi mengawali karirnya di titik yang lebih rendah dari perkiraan kita terhadap seorang pria dengan
prestasi sedemikian hebat dibalik kemudi. Orangtuanya menghadiahi sebuah gokart pada ulang tahunnya yang keempat,
namun ia tak langsung jatuh hati. Ia baru serius menggelutinya saat sadar kemampuannya tak cukup bagus untuk jadi pemain bola.
Untuk meningkatkan kemahirannya, ia berlatih keras dengan main gokart, mengemngkan keuletan dalam dirinya, yang membuatnya
menonjol saat ini. Ia tak mau menyerah pada siapa pun. Begitu fokus ke dunia balap, hidup Michael berputar amat cepat.
Tak hanya rela berhujan-huian menyelesaikan lapnya di sirkuit lokal Kerpen saat anak-anak sebayanya bemmain di numah, ia pun
bersedia latihan berkuda guna mengasah feeling dan keseimbangannya; feeling kapan harus menarik tali kekang, dan seimbang
saat berdiri di atas sanggurdi. Ia tak pernah membayangkan akan jadi hebat dslam hobinya ini. Setelah merebut gelar
juara dunia ketiganya, ia bersiap mencetak rekor kemenangan terbanyak dalam sojarah. Ia hanya perlu delapan kali juara GP
untuk melibas rekor 51 kali juara GP milik Alain Prost. Michael mengakui, keputusannya untuk jadi pembalap profesional
baru tercetus saat balapan untuk Mercedes sportscar 1990 - hanya 18 bulan sebelum debut F1 -nya di Spa 1991. Keraguan seperti
itu -rasanya sulit dipercaya saat ini - muncul karena prestasinya bukan yang terbaik. Rekan-rekan seangkatannya yang
ada di grid F1 saat ini seperti, H-H Frentzen, Mika Hakkinen dan Mika Salo, pemah mengalahkannya lebih dari sekali. Salah
satu buktinya adalah pada kejuaraan Formula Ford Eropa 1988. Ketika itu, Salo unggul 30 poin dibanding Michael untuk merebut
gelar. Kami bertempur sangat tipis di kejuaraan itu, kenang Salo. Betul-betul saling melibas. Pembalap yang lain
seperti ingin meninju saya usai balapan, gara-gara saya terlalu ngotot. Namun, Michael selalu friendly, ia mendatangi dan
menjabat tangan saya sambil berucap good race atau semacamnya. Dia selalu baik. Cerita lalu berubah. Sejak masuk
ke kancah F1, Salo dan Frentzen tak mengalami kemajuan berarti, sementara Schumi malah makin kuat. Salo belum berhasil juara,
dan Frentzen tersaingi oleh rekan setimnya, Jarno Tnulli. Hanya Hakkinen-lah yang setia bertarung dengan Michael. Sama seperti
yang dilakukannya di Formula 3 pada 1990, kala ia mengalahkan pembalap Jerman itu di Hockenheim dan Macau. Mika unggul saat
kuaiifikasi. Namun, saat balapan, Michael punya nilai lebih. Karl Wendlinger (di F3), Allan McNish (karting) dan
Michael Bartels (F3), merupakan pembalap yang lebih cemerlang dibanding si wunderkind saat itu. Karl mengalahkan Schumi untuk
merebut mahkota F3 Jerman 1989 dengan selisih satu poin. Namun, karir F1 pembalap Austria itu kandas akibat kecelakaan di
chicane Monaco pada 1994, yang membuatnya koma. Sekarang, Schumi jauh lebih bagus dibanding 10 tahun lalu. Dan sebagian
besar kanena percaya diri yang timbul dari kesuksesannya. Ini fakta. Coba saja taruh pembalap lain di mobil yang sama persis
dengan Schumi, meneka pasti lebih lamban. Kesuksesannya itu muncul berkat tiga tahapan penting dalam karirnya. Pertama:
karting. Ini SD-nya semua bintang F1 masa depan. Ia tak hanya belajar mengemudi, tapi juga belajar balapan. "la
bukan seorang pembalap gokart brilian," uiar Elmar Hoffman, juara kart Jemman. "la sangat bagus, tapi tak cukup
bagus untuk menjadi pembalap F1. Yang kita tahu sekarang, pembalap yang biasa-biasa saja di karting ternyata bisa jadi sangat
bagus di balap mobil." Berbeda dengan anak-anak lain, setiap kilometer mempunyai arti bagi Michael, dan ia mulai
mengembangkan otak balapnya yang saat ini cukup fenomenal. Semakin mudah balapan, makin mudah pula baginya untuk menelaah
profesinya dan makin banyak ruang untuk menyerap infommasi. Ia mungkin bukan pembalap gokart tercepat, namun ia selalu membalap
dengan baik. Semuanya berlangsung seperti slow motion baginya. Ia punya banyak waktu melihat rivalnya di sirkuit. Bagian
kedua: bertemu Willi Weber. Peristiwa ini terjadi pada musim gugur 1988. Saat itu, Willi si pemilik tim memintanya untuk mengetes
salah satu mobil WTS F3 miliknya di Nurburgring. Performa Michael begitu mengesankan hingga Willi mengontraknya untuk tahun
berikut dan setuju untuk membiayainya, dibarter dengan kontrak manajemen. Sejak pertama kali melihat Michael di mobil
itu, saya tahu -he is something special-, ujar Weber. Ada sesuatu pada gaya mengemudinya yang saya suka. Saya langsung menginginkan
saat itu juga. Pada Willi-lah, Michael belajar tentang loyalitas. Kerjasama mereka terus berlanjut hingga hari ini.
Jadi, tak heran Michael hanya bekerja untuk dua tim F1 (satu kali balapan dengan Jordan tak masuk hitungan) dalam waktu sembilan
setengah musim. Menurut saya, itulah kelebihan Michael dibanding kami semua, ucap Salo. Bertahan dalam satu tim yang
sama membuatnya mampu menjuarai F1 lebih dini. Percaya dirinya makin bertambah, dan hasilnya ia jadi makin bagus. Saya sendiri
loncat dari satu tim ke tim lain, enggak punya duit dan enggak pernah juara. Sulit untuk keluar dari situasi ini, meski saya
berharap keadaannya akan berubah dengan Toyota. Bersama Willi pula, karir Michael berubah, dari duet amatir ayah-anak
menjadi pendekatan profesional. Willi mengurus semua kontrak dan negosiasi dengan sponsor. Tugas Michael hanya menyupir, titik.
Bagian Ketiga: Mercedes. Setelah tahun pertamanya di F3 pada 1989, raksasa mobil jerman ini memutuskan menaruh Schumi
di tim junior yang dibentuk guna melatih pembalap muda di ajang World Sportscar Championship. Michael adalah salah satu dari
trio yang diajak bergabung. Ia menjadi runner-up F3 di tahun yang sama, padahal program sportscar-nya terbatas. Akhirnya ia
terjun juga di seri kejuaraan dunia tersebut pada 1991. Tes pertamanya untuk Mercedes berlangsung pada musim gugur
1989 di Paul Richard, bersama Frentzen dan Wendlinger, tapi ia tak terpilih. Orang-orang justru terkesan pada Frentzen.
Bagi Heinz-Harald, ngebut kayaknya hal mudah, komentar pembalap Jochen Mass, yang saat itu mengetes bibit-bibit muda tersebut,
Lebih mudah bagi Heinz-Harald dibanding yang lain. Tim pun terpesona dengan kemampuan Frentzen. Ia sangat cepat,
komentar manajer tim Max Welti. Tidur atau kurang tidur, mood baik tau jelek, begitu masuk mobil ia langsung terbang. Sementara,
Michael mesti mempelajari mesti mempelajari mobilnya dulu. Schumi akhirnya berhasil berada di tempat kedua, setelah
berulangkali spin dan lebih sering memakai kerbs dibanding pembalap lain agar bisa lebih cepat. Saat itu kemampuannya dalam
sebuah mobil yang powerful belum menyamai hasrat ngebutnya. Inilah yang ia pelajari dari Mercedes. Ketika Frentzen hengkang
masuk ke Formula 3000, Michael menjadi nomor satu di tim junior, dan mereka mendorongnya masuk ke F1. Untuk itu, mereka mengeluarkan
uang 250.000 pounds (± Rp. 3,4 milyar, dengan kurs saat ini, 1 ponds= Rp.13.600), untuk mensponsori balapan pertama Schumi
dengan Jordan. Saya belajar membalap dari karting, ucap Michael, tapi saya juga belajar banyak dari Mercedes tentang
pentingnya tim dan bagaimana mengemudikan mobil yang powerful. Saat itu merupakan training ground penting bagi saya.
Weber dan Mencedes pun terkesan pada Schumi, yang paham betul pentingnya fit saat balapan, bukan fit saat aerobik saja.
Ia sempat salah membentuk otot. Akibatnya cepat capek setelah dua jam balapan. Tapi itu tak lama. Sebab, berkat bantuan pelatih
profesional, daripada mengandalkan ayahnya, Rolf, ia jadi pembalap paling ft di generasinya. Saya ingat saat di Macau
1989, kenan9 pembalap F3 sebayanya, Julian Bailey. Usai Finis Kualifikasi, kamu semua langsung balik ke hotel, istirahat.
Michael malah main tenis. Kami bertanya-tanya kenapa ia melakukan hal itu. Saat itu ia jadi yang paling fit di antara kami,
hingga saat ini di ajang GP. Cerita itu menggambarkan bagaimana kesungguhan Michael dalam mempelajari pekerjaannya.
Ia sudah jadi profesional, bahkan sebelum duduk di mobil F1. Ia memaksimalkan kesempatan yang dimiliki, sementara yang lain
melewatkannya. Michael Schumacher merupakan bukti bahwa keria keras pada akhirnya akan terbayar. Saat mandi keringat
di sebuah gym di Norwegia untuk persiapan 2001, ia selalu ingat hal itu. Ketika tak ada lagi yang patut diperiuangkan, ia
akan akan berhenti. Tapi, belum untuk saat ini.
|